Pengawas berita yang berbasis di Paris, Reporters Without Borders, yang bekerja dengan lebih dari 500 stasiun radio komunitas di wilayah Sahel, menyerukan perlindungan dan dukungan bagi stasiun radio lokal, yang semakin sering mendapat serangan di beberapa tempat.
Kelompok ini menginginkan pemerintah melindungi hak-hak lembaga penyiaran untuk memberikan informasi secara bebas di seluruh wilayah dan menyerukan agar nasib jurnalis yang diserang dalam beberapa bulan terakhir terungkap.
“Kekhawatiran kami adalah jika kami tidak berorganisasi, jika kami tidak mengajukan banding dan mengajukan banding kepada otoritas politik lokal, tidak akan ada stasiun radio komunitas di Sahel,” kata Sadib dari Médecins Sans Frontières Sub-Sahara Africa Kata Marong direktur. Dia menelepon di Bamako, Mali. Mali, Niger, Burkina Faso dan Chad adalah negara-negara dimana radio komunitas sangat rentan.
Malone mengatakan stasiun-stasiun tersebut “selalu memainkan peran penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat dan meningkatkan kesadaran. Stasiun-stasiun tersebut juga selalu menggunakan bahasa lokal, dan bahasa lokal sangatlah penting”.
Banyak stasiun radio lokal di Sahel didirikan pada tahun 1990-an. Mereka mencakup topik-topik seperti pertanian, kesehatan dan lingkungan yang penting bagi penduduk lokal.
Namun Reporters Without Borders mengatakan stasiun televisi dan jurnalisnya semakin banyak diserang di beberapa negara Sahel dimana teroris dan kelompok bersenjata lainnya aktif. Tahun lalu, misalnya, dua jurnalis dibunuh di Chad dan Mali. Dua lainnya diculik. Penyerang juga menghancurkan stasiun radio atau memaksa mereka menyiarkan propaganda.
Anne Bocambe, direktur editorial Médecins Sans Frontières di Paris, mengatakan bahwa radio komunitas di Sahel sangat penting karena alasan lain. Banyak media internasional terpaksa meninggalkan Sahel. Disinformasi menyebar, termasuk dari kelompok asing seperti tentara bayaran Rusia. Sebagian Sahel terancam menjadi lubang hitam informasi.